Written by Super User on . Hits: 1053

142 TAHUN PERADILAN SERAMBI

(Drs. H. Ahmad Fanani, M.H.)

pic pabpp

Balikpapan | 03 Agustus 2024

Buku “Islamic Court in Indonesia” karya Daniel S. Lev, merupakan studi tentang landasan politik lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Buku ini berdasarkan wawancara dan pengamatan terhadap dokumen Peradilan Agama. Selain memaparkan proses Peradilan Agama, juga memaparkan mengenai pasang surut keberadaan Pengadilan Agama di Indonesia. Karena buku ini aslinya berbahasa Inggris, untuk memudahkan para pembaca memahami, H. Zaini Ahmad Noeh pada tahun 1979 telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Peradilan Agama Islam di Indonesia”.

Penerjemah turut memberikan ulasan dalam kata pengantar. Ulasannya mengenai hajat masyarakat muslim akan pentingnya keberadaan Pengadilan di tengah masyarakat. Dalam tinjauan Ilmu Fiqh, bahwa peradilan atau al-Qadla hukumnya fardlu kifayah. Artinya kewajiban kolektif bagi umat, seperti pendirian imamah, shalat berjamaah atau sama juga penyelenggaraan jenazah. Semakin kompleks suatu masyarakat tentu semakin banyak pula gesekan konflik yang terjadi sebagai akibat benturan interaksi. Dalam hal ini masyarakat berhajat adanya penyelesaian konflik secara adil.

Menurut fiqh begitu urgennya peradilan maka sesuai situasi dan kondisinya dapat berlaku dalam tiga bentuk. Secara sederhananya bentuk tersebut berupa; bentukan penguasa, bentukan tokoh masyarakat dan bentukan para pihak. Ketiga bentuk tersebut Fiqh memformulasikan dengan istilah aslinya. Peradilan bentukan penguasa istilahnya adalah tauliyah dari waliyyul amri. Peradilan bentukan tokoh masyarakat istilahnya tauliyah dari ahlul hilli wal aqdi. Tauliyah berarti pelimpahan wewenang. Sedangkan peradilan bentukan para pihak berupa tahkim,

Peradilan bentukan penguasa yakni suatu Negara yang mempunyai legalitas seorang Kepala Negara mengangkat hakim yang bertugas mengadilli sengketa warga Negara. Fiqh menyebut Kepala Negara itu dengan sebutan imam atau waliyyul amri pemegang otoritas kebijakan suatu Negara (dzu syaukah). Hakim yang menerima pelimpahan wewenang dari Kepala Negara berhak memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Keputusan Hakim tersebut mempunyai kekuatan hukum dan menjadi keputusan Negara. Fiqh tidak mempersoalkan lagi personalitas penguasa dan hakim, putusannya tetap dianggap berlaku sah demi kemaslahatan umum.

Bentuk kedua dari peradilan, bila di suatu tempat tidak ada penguasa atau imam. Kalau ada penguasa tentu dia yang mengeluarkan SK pengangkatan Hakim, tapi dalam kondisi ini penguasanya tidak ada sementara peradilan harus ada. Fiqh memberi solusi dengan membolehkan kepada tokoh masyarakat, tetuha atau sesepuh menyerahkan wewenang kepada seseorang untuk menjadi hakim di tengah masyarakatnya. Istilah fiqhnya tauliyah dari ahlul hilli wal aqdi. Jika diartikan ke dalam bahasa yang sederhana ialah orang yang berwenang untuk melepas dan mengikat. Mereka yang berwenang untuk itu adalah orang yang dituakan seperti ninik-mamak, ajengan, amang dan lain-lain.

Adapun peradilan bentuk ketiga, bahwa dalam keadaan tertentu di suatu tempat tidak ada hakim atau tidak melalui jalur hakim yang ditunjuk pemerintah maupun dari tetuha masyarakat. Dalam hal ini dua orang yang bersengketa bersepakat menunjuk seseorang yang mereka percaya menjadi hakim untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Fiqh mengistilahkannya dengan “tahkim”, yakni mengangkat seseorang untuk bertindak sebagai hakim. Syaratnya terlebih dahulu ada kesepakatan untuk menaati putusannya, tidak berkaitan dengan pidana dan yang diangkat tidak memihak.

Dalam bentuk terakhir ini jadilah kesepakatan sebagai hukum yang mengikat di antara mereka. Lembaga tahkim menurut fiqh ini dalam dunia peradilan berkembang seperti adanya kesepakatan yang dibuat para pihak di hadapan juru damai atau mediator. Dalam pergaulan masyarakat di suatu tempat lumrah terjadi bertahkim kepada seseorang. Illusrasi pada pergaulan anak-anak tempo dulu. Dua orang anak bekerjasama mencari buah di hutan. Setelah mendapatkannya mereka belum bersepakat dalam pembagian. Kemudian mereka menunjuk teman yang adil untuk membagikannya.

Ketiga bentuk peradilan di atas, mewarnai sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Dalam buku yang ditulis oleh Daniel S. Lev ada menyebut Peradilan Serambi. Sebuah pengistilahan zaman Kolonial Belanda untuk Peradilan Agama Islam yang berlansung di pulau Jawa. Pengadilan Agama diselenggarakan oleh para Penghulu. Mereka sebagai pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidangnya berlangsung di Serambi Masjid, sehingga disebut Peradilan Serambi. Kala itu tidak ada pengadilan resmi lain yang melayani rakyat muslim di pulau Jawa.

Jika melihat kepada sejarah Peradilan Agama di Indonesia tentu tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam itu sendiri. Menurut sejarah ada yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia abad ke 7 dan ada pula yang mengatakan abad ke 13. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, yang jelas Islam sudah berkembang sebelum dan pada saat penjajahan Belanda maupun Jepang. Sebelum datangnya Belanda telah berdiri kerajaan-kerajaan Islam di belahan Nusantara. Keberadaan umat Islam di Indonesia semakin menampakkan urgensi peradilan. Kebutuhan mereka terhadap lembaga peradilan sesuai ketentuan fiqh hukumnya fardlu kifayah. Semakin bertambah jumlah mereka semakin kental pula urgensi peradilan di antara mereka.

Umat Islam dalam berinteraksi antar sesama telah menjalankan hukum Islam yang berdiri sendiri dan mempunyai legalitas di masyarakat. Termuat pada peraturan perundangan Kerajaan dalam wilayah kekuasaan masing-masing. Pada abad ke 13 berdiri Kerajaan Pasai di Aceh Utara kemudian berdiri pula kerajaan Islam lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur berdiri kerajaan Tedori dan Ternate. Lebih signifan lagi ketika kerajaan Islam Mataram memerintah Jawa Tengah dan menaklukkak kerajaan di pesisir utara, Islam semakin tersebar.

Pada masa penjajahan, Belanda berusaha melemahkan legalitas hukum Islam dan peradilannya. Pada tahun 1830 Pengadilan Agama Islam ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan Kolonial, yaitu landraad. Landraad inilah yang berkuasa untuk melaksanakan putusan Pengadilan Agama dalam bentuk “execoire verklaring”. Begitu pula Pengadilan Agama tidak berwenang menyita barang maupun uang. Secara kelembagaan Pengadilan Agama tidak bebas dan tidak memiliki otonomi. Hal ini bertentangan dengan hajat masyarakat pribumi.

Mulai ada angin segar Pemerintah Kolonial mengeluarkan Firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 dan Staatsblad 1882 Nomor 152 telah mengubah susunan dan status Peradilan Agama. Wewenang Pengadilan Agama (preisterraacf) tetap dalam bidang perkawinan dan kewarisan serta pengakuan akan keberadaan Peradilan Agama sebagaimana telah ada sebelumnya. Keputusan Raja Belanda dinyatakan berlaku sejak 1 Agustus 1882. Dari sinilah sejarah mencatat bahwa Pengadilan Agama resmi lahir 1 Agustus 1882 dan hingga sekarang berusia 142 tahun.

Pada perkembangannya berlaku lagi staatsblad 1937 Nomor 116 mengurangi wewenang Pengadilan Agama bidang harta benda. Pada zaman kemerdekaan terbentuk Depertemen Agama dan dinyatakan Pengadilan Agama berada di bawahnya. Menyusul UU Nomor 14 Tahun 1970 memberi landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama serta status yang sama dengan peradilan lainnya. Hadirnya Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan turut memperkokoh keberadaan peradilan agama. Suasana cerah kembali kembali hadir dengan terbitnya Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, terdapat perubahan mendasar peradilan agama.

Era reformasi di Indonesia bergulir dan salah satu efek positifnya menghantarkan lembaga peradilan agama sejajar dengan lembaga peradilan lainnya. Satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung yang merupakan lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi. Undang Undang Nomor 35 tahun 1999 konsep satu atap dijabarkan dalam Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan Undang Undang Nomor 5 tahun 2004 perubahan atas Undang Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Eksistensi lembaga peradilan agama semakin kuat hingga era sekarang.

142 tahun sudah Peradilan Serambi yang kemudian berubah penampilan resmi menjadi Peradilan Agama. Dalam perjalannya yang panjang mengaami pasang surut dan timbul tenggelam. Berbagai upaya melemahkan legalitasnya terutama datang dari pejabat dan politikus yang anti terhadap Islam dan hukum Islam. Para pahlawan terdahulu juga berjuang mempertahankan eksistensi Peradilan Agama dengan caranya masing-masing. Perjuangan membuahkan hasil dan peradilan agama eksis sepanjang masa. Selamat Hari Ulang Tahun Peradilan Agama ke 142 semoga jaya selalu. Maju bersama mewujudkan Peradilan Agama yang Agung dan Modern.

(AF03/08/2024BPP)

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Balikpapan

Jalan Kol. H. Syarifuddin Yoes No.1
Kel. Sepinggan Baru
Kec. Balikpapan Selatan
Kota Balikpapan - 76114
Provinsi Kalimantan Timur
Telp: 0542 - 7219469
Fax: 0542 - 7219469
info@pa-balikpapan.go.id

lokasi Peta Kantor

© Copyright : Tim IT Pengadilan Agama Balikpapan | 2023