MEMUKUL ISTERI KARENA SELINGKUH
(Drs. H. Ahmad Fanani, M.H.)
Balikpapan | 11 Agustus 2024
Terjadinya pertengkaran dalam rumah tanggga menurut sebagian orang bagaikan taburan garam ketika memasak makanan. Ada apa dengan garam dan apa pula hubungannya dengan rumah tangga? Garam sebagai bahan dapur dan pelezat makanan. Masakan tanpa garam jadinya tidak lezat dan hampir hampir tidak ada rasanya. Bagi penikmat makanan bila memasaknya tidak dibubuhi garam, terasa kaya ada yang kurang dari makanan itu dan rasanya hambar. Tetapi kalau masakan ditaburi garam secukupnya akan muncul rasa lezat dari masakan itu.
Mengikuti pernyataan di atas, bahwa pertengkaran adalah garam rumah tangga. Berarti apabila suami isteri sedang bertengkar sesungguhnya mereka sedang membumbui rumah tangga agar terasa lezat. Pertengkaran rumah tangga sebagai dinamika yang terkadang tidak bisa dihindari oleh suami isteri. Datangnya bagaikan angin secara tiba-tiba berhembus dari arah timur maupun barat. Terjadi karena diskomunikasi antara suami isteri, faktor kondisi rumah tangga atau faktor pihak lain. Menjadi pelezat bila setelah bertengkar keduanya saling menyadari hingga tambah harmonis lagi.
Bila demikian berarti benar katanya pertengkaran sebagai bumbu pelezat rumah tangga. Suami isteri sadar kesalahan, kekurangan dan kelebihan masing-masing. Setelah bertengkar muncul kometmen bersama untuk membangun rumah tangga menjadi lebih baik. Bisa jadi dengan kesadaran itu tambah rasa saling mempercayai, saling mencintai dan menyayangi serta saling menghargai. Keduanya menunaikan hak dan kewajiban lebih intensif lagi. Dinamika pertengkaran menjadi hikmah agar suami isteri berusaha bangkit dari segala keterpurukan.
Selain dapat berfungsi sebagai pelezat, garam juga peneteral ketika makanan itu masuk perut. Garam yang menjalankan fungsi seperti itu tentu ada takarannya. Makanan yang menjadi lezat karena garam yang ditabur sesuai standar dan tidak terlalu banyak. Apabila masakan itu garamnya terlalu banyak maka makanan berubah rasa menjadi tidak lezat. Fungsi pelezat dan peneteral akan hilang malah membawa efek lain. Begitu pula dengan pertengkaran dalam rumah tangga jika terlalu sering tanpa ada upaya perbaikan, pertengkaran semacam itu bukan pelezat lagi malah akan menjadi penghancur.
Suatu ketika sepasang suami isteri menghadiri panggilan meja hijau untuk menjelaskan kondisi rumah tangga mereka. Isteri bersikeras agar bisa bercerai dari suaminya, Sementara suami menyatakan masih sayang isteri dan berupaya menyelamatkan rumah tangga dari kehancuran. Siapa sangka sebuah rumah tangga yang sudah susah payah membinanya sejak tahun 1998 ini sedang dalam prahara. Suami isteri yang sudah berusia setengah baya mestinya tidak usah tengok kiri tengok kanan lagi. Nikmati sudah segala hasil karya bersama selama dua puluh enam tahun mengarungi bahtera rumah tangga.
Secara ekonomi tidak menjadi kendala dalam rumah tangga mereka. Suami termasuk berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Walau sebagai karyawan swasta cukup untuk biaya makan bersama dan sekolah tiga orang anaknya. Ketiga anaknya kini sudah dewasa, mandiri, ada yang sudah berkeluarga dan berpenghasilan sendiri. Suami isteri ini telah berhasil pula membangun rumah tempat tinggal bersama. Berkat kegigihan suami isteri, untuk kediaman tidak lagi mengontrak apalagi numpang sama mertua.
Logika singkat mungkin mengatakan suami isteri seperti ini sudah tenang dalam bidug rumah tangganya. Istilah orang Jawa sudah “adem ayem gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo”. Tujuan suami isteri tercapai menciptakan rumah tangga dalam kondisi sakinah, mawaddah warahmah, bahagia dan sejahtera. Namun apa hendak dikata? Mereka bernasib gagal meraih semua itu. Istilah pribahasa, dikira panas sampai ke petang, ternyata hujan di tengah hari. Dikira rumah tangga bahagia tetap terbentang, ternyata prahara sekarang mereka alami.
Terungkap ke permukaan, dulu rumah tangga dalam keadaan rukun dan harmonis. Segalanya berjalan manis dalam jalinan saling menghormati dan menghargai. Hak dan kewajiban mereka jalankan dengan baik. Rejeki lancar tanpa kendala sehingga kebutuhan rumah tangga dari yang bersifat primer sampai yang bersifat skunder terpenuhi. Fasilitas yang menunjang keperluan rumah tangga juga mereka miliki. Untuk ukuran rumah tangga sederhana, yang mereka bangun dan yang mereka dapatkan selama ini sudah lebih dari sekedar cukup.
Dua tahun terakhir keharmonisan rumah tangga mereka terusik. Antara suami isteri sering bertengkar serius. Pertengkaran yang terjadi antara mereka tidak lagi sebagai garam pelezat, tetapi sudah kebanyakan garamnya. Terlalu asin rupanya yang mereka rasakan selama ini. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia ada aturan mengenai perceraian. Hal ini bertujuan agar perceraian tidak sembarangan terjadi, kecuali cukup alasan. Menurut ketentuan itu ada beberapa alasan yang dibenarkan, salah satunya, antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Isteri tersebut di atas menuntut cerai dari suaminya dengan alasan di rumah tangga bersama suami telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Penyebanya dalam dua tahun terakhir suami memiliki sifat temperamental, sering marah-marah kepada isteri. Hal-hal kecil dibesar-besarkan dan gampang marah hingga menyulut pertengkaran mulut. Dari pertengkaran mulut berkembang menjadi pertegkaran fisik, suami memukuli isteri sampai bebak belur hingga mengancam akan membunuh. Akibatnya beberapa bulan sudah tidak ada hubungan baik sebagai layaknya suami isteri.
Isteri menderita luka akibat pukulan suami dan sempat dibawa ke Rumah Sakit. Isteri tidak menerima atas perlakuan suami dan melapor kepada pihak berwajib dengan laporan suami melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Mediasi berhasil damai dan laporan kemudian dicabut. Berlanjut dengan tuntutan cerainya, isteri sudah trauma dan selalu dihantu-hantui persaan takut. Tidak ada lagi keinginan untuk bersatu dalam rumah tangga, Isteri menyatakan tidak sanggup lagi berumah tangga dengan suaminya dan pihak keluarga tidak mampu lagi mendamaikan mereka.
Dalam jawabannya suami mengakui semua perbutan tersebut. Memukuli isteri hingga bebak belur secara jujur dia mengaku melakukan hal itu. Seharusnya seorang suami melindungi isteri dari aniaya orang lain, bukan malah suami yang menganiaya isteri. Ternyata dia sampai tega memukuli isteri sendiri karena ada sebab musababnya. Ada asap karena ada api, ada pemukulan karena kelakuan isteri. Memukul isteri karena telah berselingkuh. Dia tega berselingkuh dengan laki-laki lain. Hubungannya sudah intim dan berjanji kawin. Suami yang tadinya memiliki sifat tempramen meluap emosinya.
Kata-kata pembelaan dari isteri bahwa yang melatar belakangi perselingkuhan karena suami selalu kasar dan memperlakukan isteri secara tidak wajar. Isteri kemudian curhat dengan orang orang lain yang kebetulan orang ini memahami jiwanya. Kebetulan lagi ketemu dengan orang yang juga broken home. Bagai gayung bersambut, terjadilah saling curhat dan saling mengisi. Sempat isteri mengatakan kalau suaminya telah menjual dirinya kepada lelaki tersebut. Suami memang mengaku telah menerima uang sebesar 50 juta dari lelaki itu. Menurut suami itu bukan harga menjual isteri tetapi uang damai agar suami tidak mempermasalahkan lelaki tersebut.
Memukul isteri karena selingkuh. Bagai si malakama jika sudah terjadi demikian. Kalau suami berdiam diri seolah tidak ada harga dirinya. Suami bergerak lalu bertindak sampai melakukan pemukulan mungkin haknya, tetapi berbuntut panjang. Walau awalnya pukul sayang, jika bercampur emosi pukulan sayang bisa berubah menjadi penganiayaan. Isteri menjadi tarauma dan semakin menjauh yang akibatnya tidak ada harapan lagi untuk bersatu dalam rumah tangga. Pertengkaran bagaikan garam rumah tangga untuk pelezat, tetapi terlalu banyak garamnya rumah tangga tidak lagi lezat.
(AF11/08/2024BPP)